/* http://gubhugreyot.blogdetik.com */

#outerCircleText { font-weight: bold; font-family: cursive; color: #0000cc; position:absolute; top:0; left:0; z-index:99999; } #outerCircleText div { position: relative; } #outerCircleText div div { position: absolute; top:0; left:0; text-align:center; }

Rabu, 30 November 2011

Hari AIDS Sedunia 2011


Hari aids sedunia 2011 dengan tema "Lindungi pekerja dan dunia usaha dari HIV dan AIDS" Hari aids sedunia 2011 digagas kementrian sosial yang menurut laporan depsos kasus AIDS yang terjadi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, sampai saat ini seperti yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan per Juni 2011, bahwa terdapat 26.483 kasus HIV sejak pertama kali ditemukan tahun 1987.

Berdasarkan cara penularan kasus AIDS kumulatif melalui Heteroseksual 54,8%, IDU 36,2%, pasangan gay 2,9%, Perinatal 2,8%, transfusi darah 0,2% dan tidak diketahui 3,0%. Sementara itu jika dilihat dari kelompok umur, kasus AIDS terjadi pada kelompok umur 20 - 29 tahun yakni sebesar 46,4%, disusul kelompok umur 30 - 39 tahun 31,5%dan kelompok umur 40 – 49 tahun 9,8%  kondisi ini tentunya sangat memperihatinkan khususnya kelompok usia remaja yang merupakan pondasi bangsa yang bertugas untuk meneruskan perjuangan untuk mencapai cita - cita bangsa.

Kalau jumlah ODHA di seluruh dunia pada akhir 2010 ada 34 juta orang, di Indonesia jumlahnya diperkirakan 300.000 orang. Mengacu pada pernyataan Sidibe bahwa pengobatan adalah pencegahan, kita perlu bekerja keras untuk menemukan kasus ataupun membuka akses kepada ODHA untuk mendapat ARV.

Hingga saat ini kurang dari 30.000 ODHA yang mendapatkan ARV atau kurang dari 10 persen dari estimasi jumlah ODHA. Dengan demikian, masih ada jurang sangat besar antara estimasi dan kasus yang teridentifikasi.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah tes HIV bagi 5 juta-20 juta rakyat Indonesia pada tahun 2012, agar semakin banyak ODHA mendapatkan pengobatan ARV pada tahap dini.

Penanggulangan menjadi penting karena HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis multidimensi: krisis kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan terutama krisis kemanusiaan.

Di Botswana, misalnya, kemajuan pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia hilang begitu saja sekitar 15 tahun lalu. AIDS membuat negara kehilangan banyak tenaga terampil dan terdidik. Upaya Pemerintah Botswana melakukan tes HIV terhadap semua warga negara untuk pengobatan ARV sejak 10 tahun lalu kini mulai memulihkan kondisi sosial ekonomi negara tersebut.

Jika tak memutuskan langkah yang tepat dan segera, bukan mustahil krisis Botswana akan terjadi di sini. Gejalanya sudah tampak dari ancaman HIV/AIDS pada kelompok usia produktif. Data yang tersedia menyebutkan 46,4 persen kasus terjadi pada kelompok usia 20-29 tahun, 31,5 persen pada kelompok 30-39 tahun, dan 9 persen pada kelompok 40-49 tahun.

Oleh karena itu, berbagai upaya perlu diintensifkan. Misalnya, upaya mengurangi penularan seksual, mencegah penularan di kalangan pengguna narkotika, dan mengeliminasi infeksi baru pada anak. Semua berlangsung paralel dengan upaya mencegah kematian akibat tuberkulosis yang saat ini menjadi penyebab kematian utama di Indonesia.

Apalagi di Indonesia semakin banyak anak menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS. Di RS Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) setiap bulan ada 210 bayi dan anak dengan HIV mendapat obat ARV. Angka ini di luar sekitar 1.500 ODHA dewasa laki-laki dan 400 ODHA dewasa perempuan yang berobat jalan ke RSCM setiap bulan. Tentu keadaan ini amat memprihatinkan. Saat negara-negara lain mulai keluar dari krisis akibat HIV, Indonesia justru baru memasuki krisis. Depsos.go.id

Selasa, 29 November 2011

MDG,Kesehatan Masyarakat serta keadaannya di Indonesia


Definisi MDG
MDGs (Milenium Development Goal) adalah agenda ambisius untuk mengurangi kemiskinan dan memperbaiki kehidupan yang disepakati para pemimpin dunia pada Millennium Summit pada bulan September 2000. Untuk setiap tujuan satu atau lebih target yang telah ditetapkan, sebagian besar untuk tahun 2015, menggunakan tahun 1990 sebagai patokan. Millenium Development Goals (MDGs) pada dasarnya mewujudkan komitmen internasional yang dibuat di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Sejarah MDGs
Millenium Development Goals (MDGs) pada dasarnya mewujudkan komitmen internasional yang dibuat di Perserikatan Bangsa-Bangsa Dunia pada konferensi Summits dan global sepanjang tahun 1990-an, seperti KTT Dunia untuk Anak, Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990 di Jomtien, Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992 di Rio de Janeiro, dan KTT Dunia untuk Pembangunan Sosial 1995 di Copenhagen. Kemudian, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bulan September 2000 di New York, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan, termasuk presiden Indonesia, sepakat untuk menandatangi Deklarasi Milenium yang diadopsi dari komitmen sebelumnya. Deklarasi Milenium inilah yang berisi Millenium Development Goals (MDGs)As a follow-up to the commitments made in the Millennium Summit, each signatory country is expected to prepare a Millennium Development Goals Report..
Isi MDGs
MDGs terdiri dari 8 tujuan (goals), 20 target, serta 60 indikator (indicators). Berikut adalah isi MDGs secara keseluruhan:
  • Tujuan 1. Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan
Target 1a: Mengurangi sampai setengah jumlah orang yang hidup dengan kurang dari satu dollar per hari
Dengan indikator:
  • 1.1 Proporsi pendapatan  penduduk di bawah $ 1 (PPP) per hari
  • 1.2 Rasio Kesenjangan Kemiskinan
  • 1.3 Kontribusi kuantil pertama penduduk berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional.
Target 1b: Mencapai penuh dan produktif kerja dan pekerjaan yang layak bagi semua, termasuk perempuan dan kaum muda :
Dengan indikator:
  • 1.4 Laju Pertumbuhan PDB per orang dipekerjakan
  • 1.5Pekerjaan per perbandingan penduduk
  • 1.6 Proporsi orang yang diperkerjakan  yang hidup di bawah $ 1 (PPP) per hari
  • 1.7 Proporsi rekening sendiri dan memberikan kontribusi pada pekerja keluarga kerja
Target 1c: Mengurangi sampai setengah proporsi penduduk yang menderita kelaparan
  • 1.8 Prevalensi berat badan-anak di bawah usia lima tahun
  • 1.9 Proporsi penduduk di bawah tingkat diet konsumsi minimum (2.100 kkal/per kapita/hari).
  • Tujuan 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Target 2a: Memastikan bahwa setiap anak laki-laki dan perempuan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar.
Dengan Indikator:
  2.1 Rasio partisipasi pendidikan dasar
  2.2 Proporsi murid mulai kelas 1 yang mencapai kelas terakhir primer
  2.3 Melek Huruf-anak usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki
  • Tujuan 3. Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan
Target 3a: Menghapus perbedaan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan pada semua tingkatan pada tahun 2015.
Dengan Indikator:
  3.1 Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di pendidikan primer, sekunder dan tersier.
  3.2 Proporsi perempuan dalam upah kerja di sektor non-pertanian
  3.3 Proporsi kursi dipegang oleh perempuan di parlemen nasional
  • Tujuan 4. Mengurangi Tingkat Kematian Anak
Target 4a: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak di bawah usia lima.
Dengan Indikator:
  4,1 bawah-lima angka kematian
  4.2 Infant mortality rate Angka kematian bayi 4,2
  4.3 Proporsi 1 tahun anak-anak diimunisasi terhadap campak
  • Ø Tujuan 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu Target
Target 5a: Mengurangi sampai tiga perempat rasio kematian ibu
Dengan Indikator:
  5.1  Rasio kematian ibu
  5.2  Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan terampil
Target 5b: Mencapai, pada tahun 2015, akses universal untuk kesehatan reproduksi.
Dengan Indikator:
  • 5.3    Prevalensi kontrasepsi
  • 5.4    Tingkat kelahiran remaja.
  • 5.5    Cakupan kehamilan (setidaknya satu kunjungan dan setidaknya empat dilihat).
  • 5.6    Belum terpenuhi kebutuhan keluarga berencana.
  • Tujuan 6. Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya Target
Target 6a: Menghentikan dan mulai membalikkan penyebaran HIV / AIDS
Dengan Indikator:
  • 6.1 Prevalensi HIV di antara penduduk usia 15-24 tahun.
  • 6.2 Penggunaan kondom pada seks berisiko tinggi.
  • 6.3 Proporsi penduduk berusia 15-24 tahun dengan pengetahuan yang benar tentang         komprehensif HIV / AIDS
  • 6.4 Perbandingan kehadiran disekolah anak yatim dan sekolah non-anak yatim berusia 10-14.
Target 6b: Mencapai, pada tahun 2010, akses universal terhadap pengobatan untuk HIV / AIDS bagi semua orang yang membutuhkannya.
Dengan Indikator:
  • 6.5 Proporsi penduduk dengan infeksi HIV lanjut dengan akses terhadap obat antiretroviral.
Target 6c: Menghentikan dan mulai membalikkan insiden malaria dan penyakit utama lainnya.
Dengan Indikator:
  • 6.6 Insidensi dan angka kematian yang terkait dengan malaria
  • 6.7 Proporsi anak-anak di bawah 5 tidur di bawah diperlakukan insektisida dan kelambu.
  • 6.8 Proporsi anak-anak di bawah 5 dengan demam yang tepat diobati dengan obat anti-malaria.
  • 6.9 Insiden, prevalensi dan tingkat kematian yang terkait dengan TBC
  • 6.10 Proporsi kasus TBC yang terdeteksi dan sembuh di bawah pengobatan yang diawasi secara langsung.
  • Tujuan 7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Target
Target 7a: Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program; sebaliknya hilangnya sumber daya lingkungan.

Target 7b: Mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati dan mencapai pada tahun 2010, penurunan yang signifikan pada tingkat kerugian
Dengan indikator:
  • 7.1       Proporsi luas daratan ditutupi oleh hutan
  • 7.2       Emisi CO2, total, per kapita dan setiap $ 1 PDB (PPP)
  • 7.3       Konsumsi zat-zat pengurang ozon
  • 7.4       Proporsi stok ikan dalam batas-batas biologis yang aman
  • 7.5       Proporsi dari total sumber daya air yang digunakan
  • 7.6       Proporsi darat dan wilayah laut yang dilindungi
  • 7.7       Proporsi spesies terancam punah
Target 7c: Mengurangi sampai setengah proporsi penduduk tanpa akses berkelanjutan ke air minum yang aman dan sanitasi dasar
Dengan Indikator
  • 7.8       Proporsi penduduk menggunakan sumber air minum diperbaiki
  • 7.9       Proporsi penduduk menggunakan fasilitas sanitasi yang baik
Target 7d: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta di daerah kumuh, tahun 2020
Dengan Indikator
  • 7.10     Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di daerah kumuh
  • Tujuan 8. Mengembangkan Kemitraan untuk Pembangunan
Target 8a: Mengembangkan lebih jauh lagi terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, non-diskriminatif perdagangan dan sistem keuangan
Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangunan dan pengentasan kemiskinan – baik nasional dan internasional
Target 8b: Membantu kebutuhan khusus dari negara-negara kurang berkembang
Termasuk: tarif dan kuota bebas akses bagi negara berkembang ‘ekspor, program peningkatan hutang untuk negara-negara miskin berutang banyak (HIPC) dan pembatalan utang bilateral resmi dan lebih murah hati ODA bagi negara-negara berkomitmen untuk pengentasan kemiskinan
Target 8c: Membantu kebutuhan khusus negara-negara berkembang dan daratan pulau kecil berkembang Serikat (melalui Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Kecil Mengembangkan Serikat dan hasil dari kedua puluh dua sidang khusus Majelis Umum)

Target 8d: Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang dengan negara-negara berkembang melalui upaya nasional dan internasional untuk membuat utang berkelanjutan dalam jangka panjang

Beberapa indikator yang tercantum di bawah ini dimonitor secara terpisah untuk negara-negara kurang berkembang (LDCs), Afrika, negara-negara berkembang yang terkurung daratan dan kepulauan kecil yang sedang bekembang.

Official development assistance (ODA)/Bantuan pembangunan resmi (ODA)
  • 8.1 Net  ODA, total dan untuk negara berkembang, sebagai persentase OECD / DAC donor pendapatan nasional bruto
  • 8.2 Proporsi dari total bilateral, sektor-ODA dapat diperuntukkan OECD / DAC donor untuk pelayanan sosial dasar (pendidikan dasar, perawatan kesehatan primer, gizi, air bersih dan sanitasi)
  • 8.3 Proporsi bantuan pembangunan bilateral resmi OECD / DAC donor yang tidak mengikat
  • 8.4 ODA yang diterima di daratan negara-negara berkembang sebagai proporsi dari pendapatan nasional bruto mereka
  • 8.5 ODA yang diterima di kepulauan kecil yang sedang bekembang sebagai proporsi dari pendapatan nasional bruto mereka
Akses pasar
  • 8.6 Proporsi dari total impor negara maju (dengan nilai dan tidak termasuk senjata) dari negara-negara berkembang dan negara sedang berkembang, mengaku bebas dari kewajiban
  • 8.7 Rata-rata tarif yang diberlakukan oleh negara-negara maju pada produk-produk pertanian dan tekstil dan pakaian dari negara-negara berkembang
  • 8.8 Dukungan Pertanian perkiraan untuk negara-negara OECD sebagai persentase dari produk domestik bruto mereka
  • 8.9 Proporsi ODA yang disediakan untuk membantu membangun kapasitas perdagangan
Debt sustainability Keberlanjutan hutang
  • 8.10 Total jumlah negara-negara yang telah mencapai titik keputusan HIPC dan jumlah yang telah mencapai penyelesaian HIPC poin (kumulatif)
  • 8.11 Penghapusan utang  berkomitmen di bawah Inisiatif HIPC dan MDRI
  • 8.12 Utang layanan sebagai persentase dari ekspor barang dan jasa
Target 8e: Dalam kerjasama dengan perusahaan farmasi, menyediakan akses ke obat-obatan penting yang terjangkau di negara-negara berkembang
  • 8.13 Proporsi penduduk dengan akses ke obat-obatan penting yang terjangkau atas dasar yang berkelanjutan
Target 8F: Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi
  • 8.14 Jaringan telepon per 100 penduduk
  • 8.15 Pelanggan telepon seluler per 100 penduduk
8.16 Pengguna internet per 100 penduduk

MDGs dan Kesehatan Masyarakat
MDGs, pada penerapannya, sangatlah terkait dengan kesehatan masyarakat. MDGs nomor 1 hingga nomor 6 terkait dengan gizi. Sementara MDGs nomor 7,menjamin kelestarian lingkungan,terkait dengan kesehatan lingkungan. Berikut adalah keterkaitan antara MDGs dengan kesehatan masyarakat:
Tujuan 1 : Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan
Kekurangan gizi mengurangi tingkat sumber daya manusia melalui efek yang berlanjut antar generasi dan tak dapat diubah. Efek ini sangat mempengaruhi perkembangan fisik dan kognitif. Dengan gizi, kemiskinan dan kelaparan dapat dicegah karena gizi dapat meningkatkan kemampuan kognitif berupa kecerdasan dan keterampilan dalam pencarian nafkah. Jikakemampuan kognitif dan keterampilan meningkat, dengan otomatis, manusia dapat meraih penghasilan yang baik. Jika manusia mendapatkan penghasilan yang baik,dengan otomatis, dia akan terhindar dari  kelaparan.
Tujuan 2 : Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Kekurangan gizi dapat mempengaruhi peluang seorang anak pergi ke sekolah, belajar di sekolah serta menunjukkan performa yang baik di sekolahnya. Jika seorang anak mengalami kekurangan gizi, maka daya tahan tubuhnya terhadap suatu penyakit pasti akan berkurang, dengan demikian semakin besar kemungkinam seorang anak sakit, maka semakin besar pula kemungkinan anak tidak hadir serta belajar dalam sekolah.Kekurangan zat gizi, Iodine misalnya, menyebabkan hampir 18 juta bayi lahir dengan kecacatan mental bahkan bayi dengan kekurangan Iodine menengah mendapatkan IQ kurang dari 10 sampai 15 poin dari mereka yang tak kekurang Iodine.

Tujuan 3 : Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan
Prasangka miring mengenai diskriminasi perempuan terhadap akses makanan, makanan, kesehatan serta perhatian dapat menyebakan perempuan kekurangan gizi, hal ini dapat menyebabkan seorang perempuan kurang akses ke asset-aset yang ada. Anemia yang disebakan kekurangan zat besi menyebakan perempuan hamil dan melahirkan bayi, meninggal sebanyak lebih dari 60,000 perempuan muda per tahun.
Tujuan 4 : Mengurangi Tingkat Kematian Anak
Kekurangan gizi, langsung maupun tak langsung, dikaitkan dengan banyak kematian anak. Seperti telah disebutkan di atas, anemia akibat kekurangan zat besi membunuh banyak ibu baik yang sedang hamil ataupun pada saat melahirkan. Dengan meninggalnya ibu,terutama pada saat kelahiran, mengecilkan peluang harapan hidup seorang anak.
Tujuan 5 : Meningkatkan Kesehatan Ibu
Kesehatan ibu disepakati sangat terkait dengan kekurangan gizi, yang dihubungkan dengan kebanyakan faktor-faktor berisiko untuk kematian ibu. Kelumpuhan ibu serta kekurangan iodine dan zat besi menjadi faktor yang serius.
Tujuan 6 : Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya
Kekurangan gizi dapat meningkatkan resiko transmisi HIV, dihubungkan dengan terapi anti retroviral, serta meningkatkan kemampuan serangan AIDS dan kematian awal.  Kekurangan gizi juga berdampak pada meningkatnya infeksi tuberkolosis serta menurunnya tingkat pertahanan terhadap malaria.
Tujuan 7 : Memastikan kelestarian lingkungan
Lingkungan yang lestari tak mungkin dapat terjadi tanpa adanya peran serta umat manusia. Peran serta umat manusia ini dapat terwujud melalui pewujudan kesehatan lingkungan.
MDGs di Indonesia


Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara penandatangan Tujuan Pembangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan Pembangunan Milenium berisikan tujuan kuantitatif yang mesti dicapai dalam jangka waktu tertentu, terutama persoalan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2015. Masing-masing tujuan MDGs terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum. Hal ini berarti Indonesia harus berusaha mencapai target-target yang telah ditentukan pada kesepakatan tersebut pada 2015 mendatang. Untuk mencapai tujuan MDGs tahun 2015 diperlukan koordinasi, kerjasama serta komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah (nasional dan lokal), kaum akademika, media, sektor swasta, komunitas donor, dan masyarakat sipil.
2.5.1 Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan
Pada tahun 1990, 15,1% penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan ekstrim. Jumlahnya saat itu mencapai 27 juta orang. Saat ini proporsinya sekitar 7,5% atau hampir 17 juta orang. Pada tingkat nasional, dengan usaha yang lebih keras, Indonesia akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya pada 2015, jika tingkat pendapatan masyarakatnya meningkat terutama pada masyarakat miskin. Tingkat pendapatan masyarakat miskin di Indonesia akan meningkat dengan peningkatan kesempatan kerja dan pengembangan usaha.
Dalam usaha penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang dikoordinasikan oleh Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, kebijakan pemerintah mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Dan salah satu upaya yang ditempuh untuk menanggulangi kemiskinan adalah usaha Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).
2.5.2 Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
Target MDGs kedua adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua pada 2015. Ini artinya bahwa semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memenuhi target ini dengan mencanangkan Program Wajib Belajar 9 tahun. Kebijakan ini terbukti telah meningkatkan akses untuk pendidikan SD. Akan tetapi, masih banyak anak usia sekolah di pelosok negeri yang belum dapat menyelesaikan SD-nya. Bahkan di perdesaan, tingkat putus sekolah dapat mencapai 8,5%. Kualitas pendidikan di Indonesia selama ini masih perlu ditingkatkan dan manajemen pendidikan juga kurang baik.
Untuk meningkatkan tingkat pendidikan di Indonesia, pemerintah mendukung program wajib belajar 9 tahun melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tahun 2009, dana BOS diberikan selama 12 bulan untuk periode Januari – Desember 2009 dengan total: SD/SDLB di kota sebesar Rp.400.000,-/siswa/tahun sedangkan di kabupaten Rp. 297.000,-/siswa/tahun. Dengan program BOS, diharapkan pendidikan dasar di Indonesia dapat terjangkau bagi semua.
2.5.3 Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Perempuan
Pada pasal 27 UUD 1945 telah dijamin kesetaraan hak bagi seluruh penduduk Indonesia – laki-laki maupun perempuan sehingga Indonesia telah mencapai kemajuan dalam mengatasi persoalan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Program Wajib belajar 9 tahun telah membawa dampak positif dalam pengurangan kesenjangan dalam dunia pendidikan. Rasio antara partisipasi murid laki-laki dan perempuan, baik partisipasi bersih maupun kotor, sudah hampir mencapai 100% di seluruh tingkat pendidikan. Akan tetapi, keberhasilan ini masih perlu ditingkatkan, terutama untuk kelompok usia yang lebih tua. Masih terdapat kesenjangan dan anggapan yang salah dalam konteks peranan dan gender di masyarakat. Persepsi yang salah ini hampir terjadi di semua aspek kehidupan, mulai dari pekerjaan (kesempatan dan kesetaraan imbalan) hingga di bidang politik. Proporsi perempuan dalam pekerjaan non-pertanian relative stagnan, begitu pula dengan keterwakilan perempuan di parlemen, yang masing-masing masih berkisar pada 33% dan 11%.
2.5.4 Mengurangi Tingkat Kematian Anak
Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan oleh MDGs ( MDGs menargetkan angka kematian bayi dan balita 65/1000 kelahiran hidup) yaitu, Angka Kematian Balita (AKBA) menurun dari 97/1000 kelahiran hidup pada tahun 1989 menjadi 46/1000 kelahiran hidup pada tahun 2000; Angka Kematian Bayi (AKB) menurun dari 68/1000 kelahiran menjadi 35/1000 kelahiran hidup pada tahun 1999.  Pada umumnya kematian bayi dan balita disebabkan oleh infeksi pernafasan akut, komplikasi kelahiran dan diare. Selain penyebab utama, beberapa penyakit menular seperti infeksi radang selaput otak (meningitis), typhus dan encephalitis juga menjadi penyebab kematian.
Indonesia sedang mencanangkan Program Nasional Anak Indonesia yang menjadikan issu kematian bayi dan balita sebagai salah satu bagian terpenting. Program tersebut merupakan bagian dari Visi Anak Indonesia 2015, sebuah gerakan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, dari mulai pemerintah, sektor swasta hingga akademisi dan masyarakat sipil. Bersama-sama, kelompok ini berusaha meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejaheraan Bayi dan Balita. Selain mempromosikan hidup sehat untuk anak dan peningkatan akses dan kualitas terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif, bagian dari Target keempat MDG adalah untuk meningkatkan proporsi kelahiran yang dibantu tenaga terlatih, sehingga diharapkan terjadi perubahan perilaku di masyarakat untuk lebih aktif mencari pelayanan kesehatan, terutama untuk anak dan balita karena UU no 23 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan keamanan sosial menurut kebutuhan fisik, psikis dan sosial mereka.
2.5.5 Meningkatkan Kesehatan Ibu
Angka Kematian Ibu (AKI) menurun dari 400/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 307/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Angka tersebut masih jauh dari target Nasional pada tahun 2015 yaitu 124/100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu adalah pendarahan (28% dari total kematian ibu); ekslampia/gangguan akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan (13% dari total kematian ibu); partus lama dan infeksi (9% dari total kematian ibu); aborsi yang tidak aman (11% dari total kematian ibu); sepsis, penyebab lain kematian ibu karena kebersihan dan hygiene yang buruk pada saat persalinan atau karena penyakit akibat hubungan seks yang tidak terobati (10% dari total kematian ibu).
Komlpikasi persalinan menurun apabila persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di lingkungan yang hygiene dengan sarana yang memadai. Menurut data Susenas terjadi peningkatan proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari 41% pada tahun 1990 menjadi 68% pada tahun 2003. Sedangkan target Nasional pada tahun 2010 adalah 90%.
Selain itu, angka pemakaian kotrasepsi pada pasangan usia subur juga menjadi indikator peningkatan kesehatan ibu. Angka pemakaian kontrasepsi pada usia subur dilaporkan meningkat dari 50% pada tahun 1990 menjadi 54% pada tahun 2002.
2.5.6 Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya
Penurunan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya mendapat perhatian yang besar dalam MDGs bidang kesehatan. Di Indonesia, sampai akhir September 2003, tercatat 1239 kasus AIDS dan 2685 kasus HIV positif. Para ahli memperkirakan hingga saat ini terdapat 90.000-130.000 orang Indonesia yang hidup dengan HIV. Pola penyebarannya lewat hunbungan seksual dan napza suntik. Di Jakarta terjadi peningkatan infeksi HIV pada pengguna napza suntik dari 15% pada tahun 1999 menjadi 47,9 pada 2002. Selain itu, Di Jakarta Utara menunjukkan prevalensi HIV dikalangan ibu hamil mengalami peningkatan dari 1,5 % pada tahun 2000 menjadi 2,7 pada tahun 2001.
Selain HIV/AIDS, Malaria juga menjadi penyakit yang harus berantas. Hampir separuh dari penduduk Indonesia tinggal di daerah endemic malaria. Rata-rata prevalensi malaria diperkirakan 850/100.000 penduduk, dengan angka tertinggi di Gorontalo, NTT, dan Papua. Angka kematian spesifik karena malaria diperkirakan 10/100.000 penduduk.
Kemudian, Indonesia menempati urutan ke tiga kasus Tuberkulosis (TB). Penyakit TB merupakan penyakit kronik, melemahkan tubuh dan sangat menular. Penyembuhan memerlukan diagnosis akurat melalui pemeriksaan mikroskopis, pengobatan jangka panjang dengan konsumsi obat anti Tb yang rutin. Dilaporkan dalam 100.000 penduduk terdapat 271 yang menderita TB dengan 122 diantaranya BTA positif. Angka Kematian Spesifik karena TB adalah 68/100.000 penduduk.  Pada tahun 2001 penderita yang menyelesaikan pengobatan lengkap dan sembuh adalah 85,7 %. Namun, kelangsungan berobat pada penderita TB tidak hanya detentukan oleh kepatuhan berobat, tetapi juga ketersediaan obat yang tidak teputus di fasilitas kesehatan. Survey pada tahun 2000 terhadap stok obat anti TB di fasilitas kesehatan menunjukkan angka kehabisan stok bervariasi antara 2-8%.

2.5.7 Memastikan Kelestarian Lingkungan
Di Indonesia ancaman terhadap hutan hujan semakin menjadi-jadi, apalagi pada era desentralisasi dan otonomi daerah lebih banyak lagi hutan yang dieksploitasi,pembalakan liar semakin menjadi-jadi dan batas kawasan lindung sudah tidak diperdulikan lagi. Panyebab utamanya adalah lemahnya supresmasi hukum dan kurangnya pengertian dan pengetahuan mengenai tujuan pembangunan jangka panjang dan perlindungn biosfer.
Akses dan ketersediaan informasi mengenai sumberdaya alam dan lingkungan merupakan aspek yang perlu ditingkatkan. Program yang seperti ini dapat membantu memperkaya pengetahuan dan wawasan kelompok masyarakat yang hidup di daerah perdesaan dan daerah terpencil mengenai pentingnya perlindungan terhadap lingkungan. Hal ini tidak tertutup harus diketahui juga oleh kaum bisnis dan masyarakat kota yang semakin tidak peduli akan lingkungan. Selain itu, Kualitas air yang sampai ke masyarakat dan didistribusikan oleh PDAM sebagian ternyata tidak memenuhi persyarat air minum aman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Masalah ini disebabkan oleh kualitas jaringan distribusi dan perawatan yang tidak baik yang menyebabkan terjadinya kontaminasi. Oleh karena itu, promosi lingkungan juga harus disandingkan dengan promosi mengenai kesehatan dan kebersihan, sehingga masyarakat akan lebih mengerti petingnya air bersih dan dapat berpartisipasi aktif menjaga dan merawat fasilitas air bersih yang ada.
Berdasarkan data terahir yang tersedia, akses masyrakat secara umum terhadap fasilitas sanitasi adalah 68%. Akan tetapi, tampaknya sanitasi tidak menjadi prioritas utama pembangunan, baik di tingkat nasional, regional, badan legislative maupun sektor swasta. Hal ini tampak dari relatif kecilnya anggaran yang disediakan untuk sanitasi. Oleh karena itu, kampanye mengenai pentingnya sanitasi juga perlu dilakukan kepada pemerintah, pembuat kebijakan, dan badan legislatif, termasuk juga kapada masyarakat. Diperlukan investasi dan prioritisasi yang lebih besar untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan pelayanan sanitasi untuk masyarakat di seluruh Indonesia.
2.5.8 Mengembangkan Kemitraan untuk Pembangunan
Tujuan kedelapan berisikan aksi yang harus dilakukan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk mencapai Tujuan 1-7 MDGs. Konsensus Monterrey  yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional tentang Pembiayaan untuk Pembangunan tahun 2002, dipandang sebagai unsur kunci tujuan delapan MDGs. Konsensus tersebut berintikan kebebasan perdagangan, aliran dana swasta, utang, mobilisasi sumberdaya domestic dan hibah untuk pembangunan. Faktanya, investasi dalam bidang kesehatan publik adalah investasi yang non-profit, hibah menjadi penting, terutama di sektor kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. Rencana strategis penanggulangan HIV/AIDS Indonesia. Jakarta, 2002.
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Buku Panduan Bos untuk Pendidikan Gratis dalam Rangka Wajib Belajar 9 Tahun. Jakarta: Depdiknas, 2009.
Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Kemiskinan, by Sujana Royat, 45. Jakarta, 1990.
Laporan MDG Indonesia.htm. Http://www.bappenas.go.id
Soekirman. Reposisi Gizi dalam Pembangunan Sosial Ekonomi: tinjauan Buku Laporan Bank Dunia Maret 2006. Bogor, Juni 7, 2006.
Tujuan Pembangunan Millenium.htm. Http://www.wikipedia.com
Tujuan Pembangunan Millenium.htm. Http://www.UNDP.com
Utomo, Budi. Tantangan Pencapaian Millennium Development Goal bidang kesehatan di Indonesia. 2007.

Gambaran Tingkat Ketulian Pada Tenaga Kerja Ruang Mesin PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo

Gambaran Tingkat Ketulian Pada Tenaga Kerja Ruang Mesin PLTA
Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo
Tak Nadya R. M.,  Umboh Jootje M. L., Rumajar Poltje D.



Abstrak. Periode pembangunan pada dasawarsa terakhir menunjukkan kebutuhan energi listrik terus mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini bukan saja disebabkan oleh semakin banyaknya kebutuhan listrik tiap keluarga tetapi diakibatkan pula oleh semakin besar energi listrik yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri. Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara Sektor Minahasa Wilayah Sulawesi Utara Tenggara Gorontalo (PT. PLN Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo) yang memiliki 3 Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) yaitu PLTA Tonsealama, PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II. Dalam kegiatan operasinya PLTA menggunakan peralatan mesin yang menghasilkan kebisingan sehingga berpengaruh bagi para tenaga kerja yang ada. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran tingkat ketulian pada tenaga kerja ruang mesin PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif menggunakan metode survei melalui pendekatan potong lintang (cross sectional), dengan jumlah responden sebanyak 36 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk telinga kanan 39 % sampel termasuk dalam kategori normal pendengarannya, 50 % mengalami tuli ringan dan 11 % tuli sedang. Sedangkan untuk hasil telinga kiri 47 % masih dalam kategori normal, 42 % tuli ringan dan 11 % mengalami tuli sedang. Mengacu pada data hasil pengukuran tingkat kebisingan di salah satu unit PLTA pada bulan Oktober 2009 dan hasil pengukuran Mei 2010 menunjukkan bahwa pada ruang mesin telah melebihi ambang batas pendengaran yang telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-51/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja yaitu 85 dB untuk standar 8 jam kerja per hari dan 40 jam per minggu, yaitu mencapai 89,5 dB – 92,2 dB. Saran bagi pihak perusahaan agar melaksanakan pengawasan terhadap penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) dan penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja bagi para tenaga kerja serta untuk tenaga kerja agar supaya patuh dalam penggunaan alat pelindung telinga saat bekerja di tempat yang tingkat paparan bisingnya tinggi.
Kata Kunci : Tingkat Ketulian, Tenaga Kerja, Ruang Mesin, PLTA

Abstract. Development period at last decay show the requirement of energy electrics non-stoped to experience of the very keen improvement. This matter not only because of more its is the development of industrial development. Limited Copartnership of company of electrics of Regional Sector Minahasa State of North Sulawesi of South-East Gorontalo (PT. Regional PLN Sector Minahasa Suluttenggo) owning three centre’s of hydropower (PLTA) that is PLTA Tonsealama, PLTA Tanggari I and PLTA Tanggari II. In its operation activities, PLTA use the machine equipments yielding noise so hat an effect on to all existing labour. Research Target that is to know the deafness level description at labour in machine room of Regional PLTA Sector Minahasa Suluttenggo. This Research is included in descriptive research use the method survey through transversal crosscut approach (cross sectional), with the responder amount as much 36 people. Result of research indicate that for the right ear 39 % responder is included in normal category is its hearing, 50 % experiencing of light deaf and 11 % is deaf. While result of the left ear 47 % still in normal category, 42 % light and 11 % experiencing of deaf is. Relate at data of result of measurement mount noise in one of unit PLTA at October 2009 and result of May measurement 2010 indicating that at machine room have exceeded the sill of hearing boundary which have been specified by Ministrial Decree of Labour of Number Kep-51/Men/1999 about Value Float The Boundary of Physics Factor at work that is 85 dB for the standard of working 8 hours each day and 40 hours for a week, that is reach 89,5 dB - 92,2 dB. Suggestion for the company to be executing observation to use of Appliance of Ear Protector ( APT) and applying of management of safety and health work to all labour and also for the labour of in order that obedient in use of appliance of protector of moment ear work in place which mount its noise is high.
Keyword : Deafness Level, Labour, Machine Room, PLTA





Pendahuluan
A. Latar Belakang
Periode pembangunan pada dasawarsa terakhir menunjukkan kebutuhan energi listrik terus mengalami peningkatan yang sangat tajam. Hal ini bukan saja disebabkan oleh semakin banyaknya kebutuhan listrik tiap keluarga tetapi diakibatkan pula oleh semakin besar energi listrik yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri. Dalam kegiatan operasinya PLTA menggunakan peralatan mesin yang menghasilkan kebisingan sehingga berpengaruh bagi para tenaga kerja yang ada.
            Tenaga kerja yang berada di ruang mesin akan mampu melaksanakan kegiatan dengan baik, apabila diantaranya ditunjang oleh suatu kondisi lingkungan yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila petugas dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Ketidaksesuaian lingkungan kerja akibatnya dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama dan juga dari produktifitas tenaga kerja yang menurun. Salah satu resiko lingkungan kerja pada lingkungan fisik yang paling berpengaruh adalah kebisingan. Pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja tidak sedikit, mulai dari gangguan pendengaran sampai pada gangguan fisiologis (Petinaung, 2008).
Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa bunyi yang dapat menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, bising adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Anizar, 2009). Kebisingan merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan kerja yang diakibatkan oleh hasil teknologi karena peningkatan industri. Gangguan yang ditimbulkan oleh kebisingan pada suatu industri atau perusahaan antara lain gangguan dalam berkomunikasi, konsentrasi, kenikmatan kerja sampai pada kehilangan daya dengar. Kebisingan, terutama yang berasal dari alat-alat bantu kerja atau mesin dapat dikendalikan antara lain dengan menempatkan peredam pada sumber getaran atau memodifikasi mesin untuk mengurangi bising. Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan sekitar 20 - 25 dB (Notoatmodjo, 2003).  
            Suasana yang bising memaksa pekerja untuk berteriak di dalam berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi (miscommunication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Lebih jauh, kebisingan terus menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pekerja yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja (Notoatmodjo, 2003). Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss / NIHL) adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Rambe, 2003).
            Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kebisingan di salah satu unit PLTA pada bulan Oktober 2009 yang diukur di 4 titik lokasi pengukuran yakni ruang mesin, generator, ruang kontrol dan halaman pembangkit berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-51/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja yaitu 85 dB akan tetapi didapatkan bahwa pada ruang mesin untuk unit I, II dan III telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditetapkan yaitu intensitas kebisingannya mencapai 89,5 – 92,2 dB.
            Oleh karena itu maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai gambaran tingkat ketulian pada tenaga kerja di ruang mesin PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo.


B. Tinjauan Pustaka
a. Struktur Telinga Manusia
Menurut Anizar (2009), telinga manusia adalah sebagai penerima suara. Secara garis besar, struktur anatomi telinga terdiri atas tiga bagian yaitu telinga bagian luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. Tulang berbentuk spiral di bagian dalam telinga disebut cochlea yang dilapisi sel rambut yang halus. Gelombang bunyi dihantarkan dari telinga bagian luar ke bagian tengah dan telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam, melalui jaringan syaraf tentang suara yang didengar telinga dan mengurangi kemampuan telinga untuk mendengar dan menghantarkan informasi ke otak. Jika sel rambut ini rusak, tidak dapat diperbaiki sehingga dapat mengalami kehilangan pendengaran.

b. Kebisingan
1.        Pengertian Kebisingan
Bunyi yang tidak kita inginkan atau kehendaki inilah yang sering disebut bising atau kebisingan (Notoatmodjo, 2003). Bising dalam Kesehatan Kerja diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun secara kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran) berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Kebisingan didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup (Buchari, 2007).
2.        Jenis-jenis Kebisingan
Menurut Buchari (2007), berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia bising dapat dibagi atas :
1)      Bising yang mengganggu (Irritating Noise)
Intensitas tidak terlalu keras. Misalnya mendengkur.
2)      Bising yang menutupi (Masking Noise)
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dan sumber lain.
3)      Bising yang merusak (Damaging/ Injurious Noise)
Adalah bunyi yang intensitasnya melampaui nilai ambang batas. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
3.        Dampak Kebisingan
Menurut Buchari (2007) bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja seperti :
1)      Gangguan fisiologis
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2)      Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat menimbulkan penyakit gastritis, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
3)      Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas kerja.
4)      Gangguan keseimbangan
Gangguan keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisiologis seperti kepala pusing, mual dan lain-lain.
5)      Gangguan terhadap pendengaran (Ketulian)
Gangguan pendengaran akibat bising merupakan penurunan ambang pendengaran yang diukur dengan alat audiometri dimana hasil menunjukkan nilai dibawah ambang pendengaran terutama pada frekuensi 4000 Hz atau lebih tinggi.
4.        Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko kehilangan pendengaran (Anizar, 2009) :
1)      Intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara)
2)      Jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse)
3)      Lamanya terpapar per hari
4)      Jumlah lamanya terpapar (dalam tahun)
5)      Usia yang terpapar
6)      Masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya
7)      Lingkungan yang bising
8)      Jarak pendengar dengan sumber kebisingan.
5.        Mengukur Tingkat Kebisingan :
Untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan kerja, digunakan Sound Level Meter (SLM). Untuk mengukur nilai ambang pendengaran digunakan Audiometer. Nilai ambang batas intensitas bising adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum 8 jam per hari (Buchari, 2007).
6.        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ambang Pendengaran :
1)      Penggunaan obat-obatan.
2)      Umur.
3)      Penyakit (otitis media, tinnitus, hipertensi, influenza).
4)      Masa kerja.
5)      Jenis kebisingan.
6)      Alat pelindung telinga.
7)      Ruangan tempat pemeriksaan.
Menurut ISO (International Organization for Standardization), derajat ketulian adalah sebagai berikut (Buchari, 2007) :
-          Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB, masih normal.
-          Jika peningkatan ambang dengar antara 26 – 40 dB, disebut tuli ringan.
-          Jika peningakatan ambang dengar antara 41 – 60 dB, disebut tuli sedang.
-          Jika peningkatan ambang dengar antara 61 – 90 dB, disebut tuli berat.
-          Jika peningkatan ambang dengar > 90 dB disebut tuli sangat berat.
7.        Ketulian :
Ketulian ada dua macam yaitu hantaran (konduktif) dan syaraf (perseptif). Tuli jenis hantaran ini disebabkan oleh gangguan gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran sedangkan tuli jenis syaraf adalah gangguan pada syaraf, alat corti, gangguan syaraf pendengaran atau gangguan dalam otak sendiri. Tuli jenis hantaran masih bisa diperbaiki sehingga orang tersebut dapat mendengar kembali tetapi kesulitan jenis syaraf tidak bisa diperbaiki (Anizar, 2009). Ketulian yang disebabkan oleh kebisingan termasuk dalam kategori tuli syaraf yang disebabkan kerusakan (degenerasi) sel neurosensori organ corti. Beratnya keadaan penurunan daya dengar ini tergantung dari lamanya pemaparan serta tingkat kebisingan dan makin lama pemaparan akan semakin berat efek yang timbul. Pada tahap awal penurunan daya dengar ini bersifat sementara, dengan menghindari pemaparan lebih lanjut untuk suatu waktu tertentu, daya dengar akan kembali pada keadaan semula tetapi bila pemaparan terhadap kebisingan berlangsung terus-menerus maka ketulian akan menetap dan pada keadaan ini sudah tidak mungkin lagi untuk disembuhkan (Anizar, 2009).

B. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran tingkat ketulian pada tenaga kerja di ruang mesin PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo.

Metode Penelitian
a. Desain Penelitian
Desain penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif menggunakan metode survei dengan pendekatan potong lintang (cross sectional study).

b. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo yaitu PLTA Tonsealama, PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II selama 4 bulan yaitu bulan April sampai bulan Agustus 2010.
c. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja yang bekerja di bagian operator/mesin PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo berjumlah 36 orang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengambilan sampel. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang berjumlah 36 orang. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu lama bekerja minimal 1 tahun, tidak dalam keadaan sakit (bebas dari penyakit infeksi saluran pernapasan atas) dan berumur antara 20 sampai dengan 55 tahun.

d. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu alat-alat sebagai berikut : sound level meter untuk mengukur kebisingan lingkungan, audiometer untuk mengukur ambang pendengaran tenaga kerja, stopwatch untuk menghitung waktu selama mengukur kebisingan lingkungan, riwayat keluhan penyakit berisikan beberapa pertanyaan untuk mengetahui keluhan yang dirasakan oleh tenaga kerja.

e. Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari pengukuran dan pemeriksaan ambang pendengaran serta wawancara langsung pada responden, sedangkan data sekunder diperoleh dari PT. PLN (Persero) Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo.

f. Analisa Data
Data yang diperoleh hasil pengukuran maupun observasi dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan narasi yang setelah dianalisa disesuaikan dengan standar menurut keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas faktor fisika di lingkungan kerja, dalam hal ini NAB Kebisingan untuk memperoleh solusi serta saran yang tepat.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan
a. Hasil Penelitian
1.        Gambaran Umum Perusahaan
PLTA Tonsealama merupakan proyek pembangunan Unit Pembangkit PLTA unit I dimulai sejak tahun 1942 oleh Jepang dan dilanjutkan oleh Belanda dan beroperasi sejak tahun 1950. Jumlah pegawai di Unit PLTA Tonsealama berjumlah 38 orang, terdiri dari 14 orang staf pemeliharaan, 12 orang operator mesin, 8 orang operator intake, 2 orang supervisor, 1 orang cleaning area dan 1 orang manajer.
     Proyek pembangunan PLTA Tanggari I dimulai sejak tahun 1986 dan beroperasi komersial sejak bulan Oktober tahun 1987 hingga tahun 2004 produksi kWh yang dibangkitkan oleh Unit PLTA Tanggari I mencapai 1.144.835.460 kWh dengan jam operasi mencapai 97.642.20 jam kerja untuk mesin unit I dan 100.716.03 jam untuk mesin unit II. Jumlah pegawai di Unit PLTA Tanggari I yaitu 27 orang. Terdiri dari 12 orang operator mesin, 7 orang staf, 4 orang operator intake, 3 orang supervisor dan 1 orang manajer.
     Proyek pembangunan PLTA Tanggari II dimulai sejak tahun 1994 dan beroperasi komersial sejak bulan Oktober tahun 1998 hingga tahun 2006 produksi kWh yang dibangkitkan oleh unit PLTA Tanggari II mencapai 572.032.00 kWh dengan jam operasi mencapai 49.280 jam kerja untuk mesin unit I dan 50.536 jam untuk mesin unit II. Jumlah pegawai yang bertugas di Unit PLTA Tanggari II yaitu berjumlah 29 orang. Terdiri dari 12 orang operator mesin, 8 orang staf pemeliharaan, 4 orang operator intake, 3 orang supervisor, 1 orang administrasi, dan 1 orang manajer.
     Energi listrik yang dihasilkan dari setiap Unit PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo disalurkan ke sistem interkoneksi 70 KV Minahasa, Manado, Bitung dan sistem interkoneksi 150 KV untuk Kotamobagu. PT. PLN (Persero) Sektor Minahasa Unit PLTA Tonsealama, PLTA Tanggari I, PLTA Tanggari II mempunyai komitmen untuk meyakinkan pelanggan (AP2B Minahasa) dan mitra kerja bhwa dalam melaksanakan proses bisnisnya sesuai dengan standar internasional manajemen mutu ISO 9001:2000. Dalam  melaksanakan proses bisnisnya, setiap Unit PLTA Sektor Minahasa menggunakan air yang berasal dar danau Tondano yang mengalir di sepanjang sungai Tondano sebagai sumber utama penggerak mula untuk memutar turbin yang seporos dengan generator, dukungan penyediaan sparepart/material dari pemasok sparepart sebagai penyedia sparepart dan minyak pelumas, dukungan penyedia jasa sebagai pemasok tenaga jasa operator melalui kantor PLN sekaligus mendapat pembinaan, pengarahan, bimbingan dan pemantauan. Unit PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo mempunyai sumber daya insani denga berbagai kualifikasi yang bertugas melaksankan pengoperasian, pemeliharaan pembangkit dan administrasi/kepegawaian untuk menghasilkan produksi tenaga listrik secara kontinyu.
2.        Karakteristik Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang menjadi responden adalah seluruh total polulasi yang berjumlah 36 orang. Karakteristik tenaga kerja terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja dari subjek yang menjadi responden.

Diagram Distribusi Karakteristik Umur
Untuk karakteristik tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin semua yang menjadi responden adalah laki-laki berjumlah 36 orang.

Diagram Distribusi Tingkat Pendidikan



Diagram Distribusi Karakteristik Masa Kerja


3.        Hasil Pengukuran
Klasifikasi Tingkat Ketulian Secara Umum



Diagram Penggunaan Alat Pelindung Telinga



Tabel Riwayat Keluhan

Keluhan
Ya
Tidak
(n)
(%)
(n)
(%)
Pernah mengalami gangguan pendengaran
4
11,11
32
88,89
Pernah bekerja di perusahaan industri lain sebelumnya
14
38,89
22
61,11
Pernah telinga merasa sakit
8
22,22
28
77,78
Pernah telinga tertusuk
0
0
36
100
Pernah telinga mengeluarkan cairan
4
11,11
32
88,89
Telinga sering berdengung
19
52,78
17
47,22
Pernah mengalami kehilangan pendengaran sementara
3
8,33
33
91,67
Daya pendengaran sekarang menurun
9
25
27
75
Sering merasa pusing/sakit kepala setelah selesai bekerja
15
41,67
21
58,33
Sering merasa mual/muntah setelah selesai bekerja
10
27,78
26
72,22
Sekarang sedang mengkonsumsi obat
8
22,22
28
77,78

B. Pembahasan
1.        Gambaran Umum Perusahaan
PLTA Tonsealama, PLTA Tanggari I dan PLTA Tanggari II merupakan unit PLTA dari Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo. Lokasi perusahaan yang bertempat di Jalan Raya Airmadidi – Tondano ini menghasilkan energi listrik yang akan disalurkan ke sistem interkoneksi Minahasa, Manado, Bitung dan Kotamobagu. Dalam penelitian ini sampel merupakan tenaga kerja yang bekerja di bagian mesin sebagai petugas operator, yang mempunyai jam kerja relatif antara 7 – 9 jam kerja. Pembagian shift kerja di bagi dalam 4 regu, tiap regu terdiri dari 3 orang operator salah seorang diantaranya merupakan kepala regu. Jadwal kerja terdiri dari dinas pagi, dinas siang, dinas malam dan hari bebas/libur. Untuk shift pagi dari pukul 08.00 – 16.00 (8 jam), shift siang dari pukul 16.00 – 23.00 (7 jam) sedangkan untuk shift malam dari pukul 23.00 – 08.00 (9 jam). Pada unit PLTA Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo intensitas kebisingan sudah mencapai 92,2 dB, hal ini menunjukkan telah melampaui batas aman kesehatan bagi tenaga kerja. Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 yang mengatur tentang batas aman intensitas kebisingan untuk tempat kerja telah di batasi yaitu 85 dB dengan jam kerja 8 jam per hari dan 40 jam per minggu sehingga tidak berisiko dapat mengalami ketulian yang akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari maupun produktivitas kerjanya yang disebabkan dari penyakit akibat kerja tersebut. Berdasarkan KepMenNaker No. 51 tahun 1999 nilai ambang batas (NAB) kebisingan yang mencapai 92,2 dB waktu pemajan hanya 1 – 2 jam per hari.
     Adapun hasil penelitian serupa yang sudah melebihi nilai ambang batas bagi tenaga kerja di teliti oleh Petiunaung pada tenaga kerja di ruang mesin PLN Kecamatan Tabukan Selatan (2008). Hasil pengukuran intensitas kebisingan yang didapat rata-rata 97,04 dB menunjukkan telah melampaui NAB untuk waktu kerja 8 jam per hari 85 dB sehingga hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan antara lama kerja dengan gangguan pendengaran pada tenaga kerja. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan indera pendengar yang dapat menyebabkan ketulian progresif. Namun, apabila seseorang berada terus-menerus di tempat yang bising dan terpajan pada kebisingan itu orang tersebut akan kehilangan daya dengar yang sifatnya menetap dan tidak dapat pulih kembali (Chandra, 2007). Pendapat serupa juga oleh Buchari (2007) mengatakan kondisi penurunan ambang pendengaran ini terjadi akibat terpapar bising yang melebihi nilai desibel yang diperbolehkan untuk pendengaran yang mengakibatkan penurunan pendengaran baik yang bersifat sementara atau permanen serta beberapa faktor lain. Ketulian yang bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus-menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau tuli.
2.        Karakteristik Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang menjadi sampel penelitian merupakan tenaga kerja PT. PLN (Persero) unit PLTA Tonsealama, Tanggari I dan Tanggari II Sektor Minahasa Wilayah Suluttenggo yang bekerja di bagian mesin sebagai petugas operator yang seluruhnya berjumlah 36 orang. Berdasarkan karakteristik tenaga kerja, untuk sampel penelitian tenaga kerja di bagian mesin yang menjadi responden seluruhnya berjenis kelamin laki-laki, semuanya masih termasuk umur produktif kerja namun persentase terbanyak yaitu 44 % pada kelompok umur 30 – 39 tahun sedangkan persentase terkecil pada kelompok umur ≤ 20 tahun berjumlah 2 orang sebesar 6 %. Tingkat pendidikan rata-rata yaitu berpendidikan Sekolah Menengah Umum/Sederajat sebanyak 33 orang atau 91 %, adapun 2 orang yang berpendidikan Diploma 1 dengan persentase 6 % dan 1 orang atau 3 % berpendidikan SMP. Hasil penelitian untuk masa kerja, sebagian responden atau 50 % telah bekerja selama 6 – 10 tahun, ada juga 4 orang yang telah bekerja sebagai petugas operator selama > 25 tahun dengan persentase 11 %.
3.        Hasil Pengukuran
Berdasarkan hasil pengukuran dari penelitian yang dilakukan didapati tingkat ketulian secara umum tenaga kerja yang telah mengalami tuli ringan (26 – 40 dB) pada telinga kanan sebanyak 18 orang atau 50 % total sampel dan pada telinga kiri sebanyak 15 orang sebesar 42 %. Sedangkan untuk tuli sedang (41 – 60 dB) pada telinga kanan dan kiri sebanyak 4 orang dengan 11 % dari total sampel penelitian. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1990), orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising. Namun jika dilihat dari hasil penelitian berdasarkan kategori umur terbanyak pada kelompok umur 30 – 39 tahun yang mengalami penurunan ambang pendengaran, sebanyak 16 orang yang pada telinga kanan tingkat normal sejumlah 5 orang atau 13,89 %, tuli ringan 9 orang atau 25 % dan tuli sedang 2 orang persentase sebesar 5,55 %. Sedangkan pada telinga kiri 7 orang persentase 19,44 % masih dalam tingkat normal, 8 orang persentase 22,22 % tingkat ketulian ringan dan 1 orang persentase 2,78 % tingkat ketulian sedang. Ternyata untuk kategori umur di atas 40 tahun lebih sedikit sekitar 11 orang, 2 orang (5,55 %) masih dalam kategori normal, 7 orang (19,44 %) mengalami tuli ringan dan 2 orang (5,55 %) mengalami tuli sedang. Oleh karenanya faktor umur memang berpengaruh terhadap penurunan ambang dengar seseorang akan tetapi terdapat faktor lain juga diantaranya masa kerja atau lama kerja pun berperan didalamnya. Berdasarkan masa kerja responden terbanyak pada kelompok masa kerja 6 – 10 tahun yaitu 18 orang atau 50 % total sampel, pada telinga kanan 8 orang yang masih normal sedangkan telinga kiri 10 orang. Untuk tingkat ketulian ringan pada telinga kanan sebanyak 8 orang sedangkan 6 orang di telinga kiri, tingkat ketulian sedang pada masing-masing telinga ada 2 orang dengan persentase 5,55 %. Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1990 yang dikatakan tersebut diatas bahwa umur lebih dari 40 tahun lebih rentan dengan penurunan ambang dengar sehingga berpeluang lebih besar dalam mengalami ketulian ringan, sedang, berat maupun sangat berat, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ini maka kemungkinan itupun dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti : penggunaan alat pelindung diri (APD), masa kerja, lingkungan kerja, serta keluhan sakit lainnya.
     Berdasarkan hasil wawancara yang menggunakan alat pelindung telinga sebanyak 21 orang atau 58 % sedangkan tidak selisih jauh sebanyak 15 orang atau 42 % tidak menggunakan alat pelindung telinga dengan beberapa alasan seperti tidak tersedia alat pelindung diri dikarenakan alat yang pernah disediakan telah rusak dan belum ada penggantian yang baru. Alasan lainnya yaitu tidak nyaman dalam pemakaian alat kemungkinan karena tidak sesuai dengan ukuran pemakainya. Tidak menggunakan alat pelindung telinga bagi pekerja saat bekerja dan terpapar dalam waktu yang lama setiap hari akan berdampak pada gangguan pendengaran sehingga mengakibatkan penurunan ambang dengar, apalagi berdasarkan hasil penelitian didapati bahwa angka terbanyak yaitu pada masa kerja 6 – 10 tahun. Selain penggunaan alat pelindung telinga, masa kerja juga mempengaruhi. Hasil pengukuran tingkat ketulian terbanyak berdasarkan lama kerjanya ada pada 6 – 10 tahun masa kerja sekitar 10 orang yang mengalami tuli ringan dan tuli sedang. Masa kerja lebih dari 25 tahun pun sebanyak 4 orang telah mengalami tuli ringan dan tuli sedang. Adapun 2 responden yang masa kerja ≤ 5 tahun sudah mengalami tuli ringan dan sedang.
     Berdasarkan hasil wawancara setelah ditelusuri lebih lanjut yang mengalami tuli ringan adalah responden yang pindah tugas berbeda kota namun dengan lokasi kerja yang sama. Selain itu yang mengalami tuli sedang responden sebelumnya pernah bekerja di industri yang sama namun di unit Pusat Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Hal ini memungkinkan gangguan yang dialami oleh tenaga kerja karena lokasi kerja yang tidak mengalami rotasi sehingga terus menerus bekerja di tempat bising dan terpapar dengan keadaan bising, apalagi jika bising di lingkungan kerjanya yang telah melebihi ambang batas pendengaran. Oleh karena itu sebaiknya perlu adanya kontol administrasi dengan diberikan rolling kerja sehingga tenaga kerja tidak terus-menerus terpapar dengan keadaan bising dan mencegah agar supaya tenaga kerja yang pendengarannya masih dalam batas normal agar tidak menjadi tuli dan tenaga kerja yang telah terlanjur mengalami tuli baik ringan maupun sedang agar tidak mengalami hal yang tidak diinginkan seperti berlanjut pada ketulian yang lebih parah. Untuk mengetahui keluhan yang pernah dialami responden tentang gangguan pendengaran maka peneliti memberikan beberapa pertanyaan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.15. Pertanyaan-pertanyaan ini ditanyakan pada 36 responden dan yang dibahas hanyalah responden yang menjawab ya dari total jumlah responden. Untuk pertanyaan apakah telinga sering berdengung sebanyak 19 orang responden, 15 orang responden sering merasa pusing/sakit kepala setelah selesai bekerja, 10 orang sering merasa mual/muntah setelah selesai bekerja, 9 orang merasa pendengarannya sekarang menurun, 8 orang responden pernah telinga merasa sakit, 4 orang pernah mengalami gangguan pendengaran dan telinganya pernah mengeluarkan cairan sedangkan 3 orang pernah mengalami kehilangan pendengaran sementara. Berdasarkan tanya-jawab tersebut keluhan telinga yang sering berdengung disebabkan oleh gangguan akustik yang tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus, mulanya kepekaan terhadap gelombang frekuensi tinggi yang akan berkurang dengan tidak disadari jika terus menerus terjadi infeksi pada telinga, penimbunan kotoran telinga maupun penggunaan aspirin yang berlebihan juga penyebab telinga yang sering berdengung. Ada juga beberapa responden yang telinganya pernah merasa sakit sehingga mengeluarkan cairan dan mengalami kehilangan pendengaran sementara dikarenakan jarang bahkan sering tidak menggunakan alat pelindung telinga sehingga terpapar bising selama bekerja dalam waktu yang relatif lama dan dengan intensitas yang tinggi. Hasil wawancara beberapa responden mengeluhkan bahwa sering merasa pusing dan mual dikarenakan stamina yang kurang fit akibat kurang istirahat/tidur yang cukup, apalagi untuk yang bekerja shift malam yang waktu kerja lebih panjang serta bising yang lebih meningkat dikarenakan pada jam tersebut mengalami beban puncak sehingga beroperasi penambahan alat/mesin. Selain beban fisik terhadap pekerja juga ditambah beban secara psikologi karena mendengar bising alat secara terus menerus akibat tidak menggunakan alat pelindung telinga sehingga tingkat stress atau gangguan komunikasi bisa saja terjadi. Adapun 8 orang atau 22,22 % yang mengkonsumsi obat pada saat dilakukan penelitian. Penggunaan obat-obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Obat yang dikonsumsi adalah obat pengontrol tekanan darah, bukan obat-obatan terlarang atau karena flu dan 8 orang responden ini sudah berumur > 45 tahun. Selain karena faktor usia, penyakit hipertensi juga berpengaruh dalam penurunan ambang dengar oleh karena sel-sel pembuluh darah di sekitar telinga yang ikut tegang dan mengeras mengakibatkan oksigen yang masuk berkurang sehingga memudahkan sel-sel pendengaran mati.
     Ada 14 orang atau 38,89 % responden yang menjawab pernah bekerja di perusahaan industri lain sebelumnya. Beberapa diantaranya sebelumnya pernah bekerja di industri dengan bidang pekerjaan yang berbeda namun rata-rata merupakan tenaga kerja pindahan dari unit sektor lain yang sebelumnya bertugas di lokasi kerja yang sama sehingga mengaku daya pendengaran sekarang menurun dan pernah mengalami kehilangan pendengaran sementara.  Untuk itu bagi tenaga kerja agar tidak mengalami gangguan pendengaran akibat bising sehingga menyebabkan ketulian maka dianjurkan menggunakan alat pelindung telinga seperti ear muff atau ear plug sewaktu bekerja sehingga risiko untuk terpapar bising yang merusak pendengaran pada usia produktif dapat diminimalisir.

KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tingkat ketulian pada tenaga kerja ruang mesin PLTA sektor Minahasa wilayah Suluttenggo, maka dapat disimpulkan bahwa pada telinga kanan, ambang pendengaran yang masih dalam kategori normal derajat ketulian sebesar 39%, kategori tuli ringan sebesar 50% dan kategori tuli sedang sebesar 11%. Sedangkan pada telinga kiri, yang masih dalam kategori normal derajat ketuliannya sebesar 47%, yang mengalami tuli ringan sebesar 42% dan tuli sedang sebesar 11%.

b. Saran
Agar melaksanakan 3 upaya yakni : Pertama, upaya Preventif untuk meminimalisir kebisingan melalui dua intervensi, pertama pada tenaga kerja dengan penggunaan alat pelindung telinga selama bekerja di tempat bising, rotasi kerja dan shift kerja yang lebih pendek mengacu pada tingginya kebisingan di tempat kerja. Kedua, intervensi pada peralatan sebaiknya memakai alat peredam suara, diberi minyak pelumas, bila diperlukan penggantian alat baru yang tingkat kebisingannya lebih rendah. Kedua, upaya Promotif dengan sosialisasi tentang pentingnya penggunaan APT agar meningkatkan kesadaran pekerja untuk mematuhi setiap prosedur kerja jika tidak patuh diberi sanksi karena hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan bagi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja sendiri. Ketiga, upaya lainnya yaitu pemeriksaan berkala ke dokter ahli THT setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali disesuaikan dengan kebijakan perusahaan dan tingginya kebisingan di tempat kerja. Selain itu, pendidikan dan latihan bagi setiap tenaga kerja baik yang bekerja di ruang mesin maupun dibagian lainnya, sehingga meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai upaya mengantisipasi kebisingan serta pengaruhnya terhadap kesehatan.


Kepustakaan

Anizar. 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Medan : Graha Ilmu.

Buchari, 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program. USU             Repository. (Online), (http://library.usu.ac.id/download/ft/07002749.pdf)      Diakses            tanggal 1 Maret 2010.

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku          Kedokteran      ECG.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1990. Upaya Keselamatan Kerja             Sektor Informal di Indonesia. Jakarta. (Online), (http://digilib.unnes.ac.id/gsdl.collect/s            kripsi/archives/HASHdf81/bbc67ef9.dir/doc.pdf) Diakses tanggal 28 April 2010.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-51/Men/1999 tentang Nilai             Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. (Online), (http://ehsindolaw.com/admin/         files/Keputusan%20Menteri%20Tenaga%20Kerja%20No.%20Kep%20%E2%80%93  %2051_Men_1999%20%20Tentang%20Nilai%20Ambang%20Batas%20%20Faktor%           20Fisika%20Di%20Tempat%20Kerja.pdf) Diakses    tanggal 1 Maret 2010.

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Mayarakat : Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.

Petinaung, J. K. 2008. Hubungan Lama Kerja dengan Gangguan Pendengaran        Pada    Tenaga            Kerja di Ruang Mesin PLN Kecematan Tabukan Selatan. Skripsi. Manado. Politeknik            Kesehatan.

Rambe, A. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Medan. (Online),   (http://www.thtkomunitas.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=99)        Diakses tanggal 1 Maret 2010.